Oleh: Hamdan - Widyaiswara Madya
Pembelajaran kreatif dimaknai sebagai usaha widyaiswara sebagai fasilitator mampu menyajikan proses belajar yang dapat menumbuhkan minat belajar peserta pelatihan, menciptakan kelas yang kondusif dan menyenangkan untuk belajar.
Pembelajaran kreatif dimaknai sebagai usaha widyaiswara sebagai fasilitator mampu menyajikan proses belajar yang dapat menumbuhkan minat belajar peserta pelatihan, menciptakan kelas yang kondusif dan menyenangkan untuk belajar.
Oleh karena itu, sudah saatnya widyaiswara meninggalkan model
pembelajaran yang menggunakan cara-cara instan. Model pembelajaran
dengan sistem drill, yang mengharapkan hasil bagus dengan cepat tanpa
mengindahkan prosedur pembelajaran yang semestinya, sesungguhnya
bersifat intimidatif. Bagaimana tidak mengintimidasi bila peserta
senantiasa dihadapkan pada keharusan meraih minimal ’nilai tertentu’
yang menjadi standar kompetensi yang dibutuhkan? Akibatnya, peserta
pelatihan mengikuti pembelajaran dibawah bayang-bayang ancaman dan
ketakutan ’tidak mencapai batas kompetensi minimal’ jika tidak dapat
menyerap atau menguasai materi pelatihan (lebih tepatnya: menghafal),
yang akan dibuktikan dengan ulangan/tes/ujian/uji kompetensi.
Apabila
dengan ‘pembelajaran intimidatif’ tadi peserta pelatihan merasa
terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran, sudah saatnya widyaiswara
memikirkan dan menerapkan model pembelajaran lain yang lebih memahami
kondisi peserta pelatihan; salah satu alternatifnya adalah model
pembelajaran yang bersifat partisipatif. Model pembelajaran ini menuntut
seorang widyaiswara dapat memilih dan mendayagunakan media pembelajaran
yang sesuai, antara lain karena peserta pelatihan dilibatkan dan
diikutsertakan dalam menentukan dan mencari bahan/materi dari berbagai
sumber yang akan dipelajari.
Ada ungkapan dari Peter Kline yang mengatakan bahwa “Learning is Most Effecive When It’s Fun”, pembelajaran itu akan terlaksana paling efektif manakala dilakukan dengan senang hati. Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat dalam, yakni bahwa tujuan pembelajaran itu akan tercapai jika peserta pelatihan mengikuti dan melakukan proses pembelajarannya dengan senang hati, dengan motivasi yang tinggi.
Ada ungkapan dari Peter Kline yang mengatakan bahwa “Learning is Most Effecive When It’s Fun”, pembelajaran itu akan terlaksana paling efektif manakala dilakukan dengan senang hati. Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat dalam, yakni bahwa tujuan pembelajaran itu akan tercapai jika peserta pelatihan mengikuti dan melakukan proses pembelajarannya dengan senang hati, dengan motivasi yang tinggi.
Media Pembelajaran
Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium, yang dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima. Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran merupakan proses komunikasi.
Proses pembelajaran mengandung lima komponen komunikasi, yaitu : (1) widyaiswara sebagai komunikator; (2) bahan pembelajaran; (3) media pembelajaran; (4) peserta pelatihan sebagai komunikan, dan (5) tujuan pembelajaran.
Jadi, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan peserta pelatihan dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar. Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang cukup penting sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran, dan merupakan komponen integral dari sistem pembelajaran, karena dalam proses pembelajaran; media memiliki fungsi sebagai pembawa informasi dari widyaiswara menuju peserta.
Kelebihan kemampuan media pembelajaran menurut Gerlach dan Ely adalah dalam hal (1) kemampuan fiksatif; (2) kemampuan manipulatif; dan (3) kemampuan distributif. Sedangkan hambatan-hambatan komunikasi dalam proses pembelajaran antara lain (1) verbalisme, artrinya peserta dapat menyebutkan kata tetapi tidak mengetahui artinya; (2) salah tafsir, artinya dengan istilah atau kata yang sama diartikan berbeda oleh peserta; (3) perhatian tidak berpusat; dan (4) tidak terjadinya pemahaman.
Oleh karenanya, pengembangan media pembelajaran hendaknya diupayakan untuk memanfaatkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh media tersebut dan berusaha menghindari hambatan-hambatan yang mungkin muncul dalam proses pembelajaran.
Landasan Penggunaan Media Pembelajaran
Ada beberapa tinjauan tentang landasan penggunaan media pembelajaran, antara lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan empiris.
Landasan filosofis. Ada suatu pandangan, bahwa dengan digunakannya berbagai jenis media hasil teknologi baru di dalam kelas, akan berakibat proses pembelajaran yang kurang manusiawi. Benarkah pendapat tersebut? Bukankah dengan adanya berbagai media pembelajaran justru peserta dapat mempunyai banyak pilihan untuk digunakan media yang lebih sesuai dengan karakteristik pribadinya? Dengan demikian, penerapan teknologi tidak berarti dehumanisasi.
Landasan psikologis. Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses belajar, ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar peserta. Untuk maksud tersebut, perlu diadakan pemilihan media yang tepat sehingga dapat menarik perhatian peserta serta memberikan kejelasan obyek yang diamatinya, dan bahan pembelajaran yang akan diajarkan disesuaikan dengan pengalaman peserta. Kajian psikologi menyatakan bahwa peserta akan lebih mudah mempelajari hal yang konkrit ketimbang yang abstrak. Berkaitan dengan hubungan konkrit – abstrak dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran, ada beberapa pendapat. Pertama, Jerome Bruner; mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan urutan dari belajar dengan gambaran atau film (iconic representation of experiment) kemudian ke belajar dengan simbul, yaitu menggunakan kata-kata (symbolic representation). Kedua, Charles F. Haban; mengemukakan bahwa sebenarnya nilai dari media terletak pada tingkat realistiknya dalam proses penanaman konsep, ia membuat jenjang berbagai jenis media mulai yang paling nyata ke yang paling abstrak. Ketiga, Edgar Dale; membuat jenjang konkrit-abstrak dengan dimulai dari peserta yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju peserta sebagai pengamat kejadian nyata, dilanjutkan ke peserta sebagai pengamat terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan terakhir peserta sebagai pengamat kejadian yang disajikan dengan simbol. Jenjang konkrit-abstrak ini ditunjukkan dengan bagan dalam bentuk kerucut pengalaman (cone of experiment). Dalam menentukan jenjang konkrit ke abstrak antara Edgar Dale dan Bruner pada diagram jika disejajarkan ada persamaannya, namun antara keduanya sebenarnya terdapat perbedaan konsep. Dale menekankan peserta sebagai pengamat kejadian sehingga menekankan stimulus yang dapat diamati, sedangkan Bruner menekankan pada proses operasi mental peserta pelatihan pada saat mengamati obyek.
Landasan teknologis. Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek perancangan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, dan penilaian proses dan sumber belajar. Jadi, teknologi pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar itu mempunyai tujuan dan terkontrol. Dalam teknologi pembelajaran, pemecahan masalah dilakukan dalam bentuk kesatuan komponen sistem pembelajaran yang disusun dalam fungsi disain atau seleksi, dan dalam pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem pembelajaran yang lengkap.
Landasan empiris. Terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran dan karakteristik belajar peserta dalam menentukan hasil belajar peserta. Artinya, peserta akan mendapat keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan menggunakan media yang sesuai dengan karakteristik tipe atau gaya belajarnya; bagi yang memiliki tipe belajar visual akan lebih memperoleh keuntungan bila pembelajaran menggunakan media visual, seperti gambar, diagram, video, atau film, sedangkan yang memiliki tipe belajar auditif, akan lebih suka belajar dengan media audio, seperti radio, rekaman suara, atau ceramah widyaiswara. Berdasarkan landasan rasional empiris tersebut, maka pemilihan media pembelajaran hendaknya jangan atas dasar kesukaan widyaiswara, tetapi harus mempertimbangkan kesesuaian antara karakteristik peserta pelatihan, karakteristik materi pelajaran, dan karakteristik media itu sendiri.
Widyaiswara dan Media Pembelajaran
Perubahan global dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi, terutama yang berhubungan dengan sistem pelatihan di lembaga-lembaga penyelenggara diklat menuntut adanya perubahan sikap dan paradigma dari para widyaiswara dalam melaksanakan kegiatan pembelajarannya.
Dulu ada anggapan yang salah kaprah, yaitu bahwa widyaiswara adalah orang yang paling mengetahui, yang kemudian berkembang menjadi widyaiswara lebih dulu mengetahui atau pengetahuan widyaiswara hanya beda semalam dibandingkan dengan peserta pelatihan. Sekarang bukan saja pengetahuan widyaiswara sama dengan peserta pelatihan, bahkan mereka dapat lebih dulu mengetahui daripada widyaiswaranya, sebagai akibat perkembangan media informasi yang begitu cepat di sekitar lingkungan kita, sehingga pada saat ini widyaiswara bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Banyak contoh, peserta pelatihan dapat lebih dulu mendapat informasi dengan cara mengakses informasi dari media massa seperti : surat kabar, televisi, handphone (SMA/MMS/BBM), bahkan internet. Sedangkan seringkali widyaiswara dengan alasan klasik “masalah ekonomi”, mereka tidak dapat mengakses informasi dengan cepat. Bagaimana widyaiswara menyikapi perkembangan ini? Setidaknya ada tiga kelompok widyaiswara dalam menyikapi hal ini, seperti tidak peduli, menunggu petunjuk, atau cepat menyesuaikan diri.
Kelompok pertama; yaitu widyaiswara yang tidak peduli. Seorang widyaiswara yang mempunyai rasa percaya diri berlebihan (over confidence) barangkali akan berpegang kepada anggapan bahwa sampai kapanpun posisi widyaiswara tidak akan tergantikan. Dalam setiap proses pembelajaran tetap diperlukan sentuhan manusiawi dari seorang widyaiswara. Widyaiswara dalam kelompok ini menggambarkan peserta pelatihan sebagai seseorang yang bersifat tergantung, dan menganggap pengalaman mereka tidak besar nilainya. Pengalaman yang sangat besar manfaatnya adalah pengalaman yang diperoleh dari widyaiswaranya, sehingga tetap memerlukan sentuhan psikologis dari seorang widyaiswara, yang dalam mengajar tidak hanya mengutamakan mata diklat akan tetapi harus juga memperhatikan mereka sebagai manusia yang harus dikembangkan potensi diri dan pribadinya, sehingga harus tetap dipelihara keseimbangan antara perkembangan intelektual dan perkembangan psikologis. Teknologi secanggih komputer yang bagaimanapun, VCD/DVD, internet atau apapun, tidak dapat menggantikan manusia, karena bagaimanapun teknologi berkembang secara pesat, widyaiswara tetap sebagai yang “harus digugu dan ditiru”. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa media tidak dapat menggantikan posisi widyaiswara, namun sikap tidak peduli terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi, bukanlah sikap yang tepat. Bagaimanapun, lingkungan kita terus berkembang, tuntutan masyarakat terhadap kualitas widyaiswara semakin meningkat, sehingga widyaiswara harus peduli.
Kelompok kedua; adalah widyaiswara yang menunggu petunjuk, kelompok inilah yang paling banyak ditemukan di lembaga-lembaga penyelenggara diklat yang mungkin akibat dari kebijakan sistem pelatihan selama ini. Widyaiswara dalam sistem pendidikan nasional dianggap sebagai “tukang” dalam melaksanakan kurikulum yang demikian rinci dan kaku, sehingga tinggal melaksanakan tanpa boleh menyimpang dari pedoman baku yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaannya, kurikulum dilengkapi dengan Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) dan Satuan Acara Pembelajaran (SAP) dan sebagainya, yang semuanya dibuat secara rinci, tanpa peduli kondisi lembaga penyelenggara diklat yang berbeda-beda.
Kelompok ketiga; adalah widyaiswara yang cepat menyesuaikan diri. Sejalan dengan perubahan kurikulum, otonomi dalam pendidikan dan pelatihan, serta manajemen berbasis lembaga penyelenggara diklat maupun berbasis kompetensi, bukan lagi saatnya bagi widyaiswara untuk selalu menunggu petunjuk. Widyaiswara adalah tenaga profesional, bukan amatir. Dengan mengacu kepada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Diklat, setiap widyaiswara dituntut untuk dapat mengembangkan bahan ajar bagi peserta pelatihan dalam suatu proses pelaksanaan pembelajaran yang berkesinambungan. Widyaiswara dituntut untuk mengembangkan kemampuan dan kompetensi peserta pelatihan, bukan sekedar pengetahuan tetapi para peserta pelatihan hendaknya mampu berpikir (kognitif), mampu menentukan sikap (affektif) dan mampu bertindak (psikomotor), sehingga nantinya menjadi manusia yang bermartabat. Oleh karena itu saran yang tepat untuk widyaiswara adalah cepat-cepatlah menyesuaikan diri, dan perlu segera mereposisi perannya saat ini, dan tidak lagi menjadi orang yang paling mengetahui di kelas, namun harus mampu menjadi fasilitator yang baik dalam proses pembelajaran.
Pentingnya Penguasaan Media Pembelajaran
Ada banyak cara yang dilakukan widyaiswara dalam menjalankan tugasnya sebagai komunikator pada proses pembelajaran, tetapi pernahkah menghadapi kesulitan dalam menjelaskan suatu materi pelajaran kepada peserta pelatihan; misalnya menjelaskan sesuatu yang masih asing bagi peserta pelatihan.
Cara pertama; bercerita tentang hal-hal yang belum pernah diketahui atau dialami oleh peserta pelatihan. Widyaiswara dapat bercerita mungkin karena pengalaman, membaca buku, cerita orang lain atau pernah melihat objek-objek itu. Apabila peserta pelatihan di lembaga penyelenggara diklat tersebut sama sekali belum mengetahui, belum pernah melihat objek-objek tersebut di televisi atau melihat gambarnya di buku, betapa sulitnya menjelaskan hanya dengan kata-kata tentang objek tersebut. Penjelasan dengan kata-kata mungkin akan menghabiskan waktu yang lama. Pemahaman mereka akan berbeda sesuai dengan pengetahuan sebelumnya, bahkan mungkin akan menimbulkan kesalahan persepsi.
Cara kedua; membawa peserta pelatihan ke lokasi kegiatan yang berkaitan dengan mata diklat yang disampaikannya untuk melihat obyek itu, dan menugaskan mereka melakukan pengamatan dan wawancara. Ini lebih efektif dibandingkan dengan cara lainnya walaupun tidak efisien, masalahnya berapa biaya yang harus ditanggung, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Tidak mungkin mereka dapat mengalami karena berbagai keterbatasan.
Cara ketiga; membawa gambar, lukisan, foto, slide, film, maupun VCD tentang objek-objek tersebut. Cara ini akan membantu widyaiswara dalam memberikan penjelasan. Selain menghemat kata-kata, menghemat waktu, penjelasannya akan lebih mudah dimengerti oleh peserta pelatihan, menarik, membangkitkan motivasi belajar, menghilangkan kesalahan pemahaman, serta informasi yang disampaikan menjadi konsisten.
Ketiga cara diatas dapat kita sebutkan, cara pertama sebagai informasi verbal, cara kedua belajar pengalaman nyata, sedangkan cara ketiga informasi melalui media. Di antara ketiga cara tersebut, cara ketiga adalah cara yang paling tepat dan bijaksana untuk dilakukan karena media belajar itu diperlukan oleh widyaiswara agar proses pembelajaran berjalan efektif dan efisien. Menurut Edgar Dale, dalam dunia pendidikan maupun pelatihan, penggunaan media/bahan/sarana belajar seringkali menggunakan prinsip Kerucut Pengalaman, yang membutuhkan media belajar seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat oleh widyaiswara dan berbentuk “audio-visual”.
Gambar 1. Kerucut Pengalaman menurut Edgar-Dale
Masalah yang sering ditemui di lembaga-lembaga penyelenggara diklat, mengapa sampai saat ini masih ada widyaiswara yang enggan menggunakan media dalam mengajar? Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan diskusi dalam berbagai kesempatan dengan para widyaiswara, terdapat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) alasan mereka tidak menggunakan media pembelajaran, yaitu :
Pertama, menggunakan media itu repot. Mengajar dengan menggunakan media perlu persiapan, widyaiswara merasa sudah sangat repot dengan menulis persiapan pembelajaran, jadwal yang padat, jumlah kelas paralel yang sedikit, masalah keluarga di rumah dan lain-lain, sehingga mana sempat memikirkan media pembelajaran. Padahal kalau mau berpikir dari aspek lain, bahwa dengan media pembelajaran akan lebih efektif, maka tidak ada alasan repot.
Kedua, media itu canggih dan mahal. Tidak selalu media itu harus canggih dan mahal. Nilai penting dari sebuah media pembelajaran bukan terletak pada kecanggihannya (apalagi harganya yang mahal) namun pada efektifitas dan efisiensi dalam membantu proses pembelajaran. Banyak media sederhana yang dapat dikembangkan oleh widyaiswara dengan harga murah.
Ketiga, tidak bisa menggunakan. Demam teknologi ternyata menyerang sebagian dari widyaiswara kita. Ada beberapa yang “takut” dengan peralatan elektronik, takut kena setrum, takut korsleting, takut salah pijit, takut rusak, dan sebagainya. Akibatnya media OHP, audio-visual atau slide projector yang telah dimiliki, sejak awal beli dalam kondisi baru tetap saja tersimpan rapi di ruang penyimpanan.
Keempat, media itu hiburan, sedangkan belajar itu serius. Alasan ini sudah jarang ditemui di lembaga-lembaga penyelenggara diklat, namun tetap ada. Menurut pendapat orang-orang terdahulu belajar itu harus dengan serius, sedangkan media pembelajaran itu identik dengan hiburan. Hiburan adalah hal yang berbeda dengan belajar. Paradigma belajar kini sudah berubah. Kalau bisa belajar dengan menyenangkan, mengapa harus dengan menderita? Kalau dapat dilakukan dengan mudah, mengapa harus dipersulit?
Kelima, tidak tersedia. Tidak tersedia media pembelajaran di lembaga penyelenggara diklat, mungkin ini adalah alasan yang masuk akal. Tetapi seorang widyaiswara tidak boleh menyerah begitu saja. Ia adalah seorang profesional yang harus kreatif, inovatif dan banyak inisiatif. Media pembelajaran tidak harus selalu canggih, namun dapat juga dikembangkan sendiri oleh widyaiswara. Dalam hal ini pimpinan lembaga penyelenggara diklat hendaklah cepat tanggap.
Keenam, kebiasaan menikmati ceramah/bicara. Metode mengajar dengan ceramah adalah hal yang enak dan mudah, karena berbicara itu memang nikmat. Inilah kebiasaan yang sulit di rubah. Seorang widyaiswara cenderung mengulang cara para pendahulunya yang terdahulu. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran adalah kepentingan peserta pelatihan yang sedang belajar, bukan kepuasan widyaiswara semata.
Ketujuh, kurangnya penghargaan dari atasan. Kurangnya penghargaan dari atasan, mungkin adalah alasan yang masuk akal. Sering terjadi bahwa widyaiswara yang mengajar dengan media pembelajaran yang dipersiapkan secara baik, kurang mendapatkan penghargaan dari pimpinan lembaga penyelenggara diklat. Tidak adanya reward bagi widyaiswara sering menyebabkan yang bersangkutan menjadi “malas”. Selama ini tidak ada perbedaan perlakuan bagi widyaiswara yang menggunakan media pembelajaran dengan widyaiswara yang mengajar dengan tidak menggunakan media (metode ceramah/bicara saja).
Peran Widyaiswara Dalam Proses Pembelajaran Partisipatif
Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya widyaiswara untuk mengikut sertakan peserta pelatihan dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.
Pembelajaran partisipatif, atau teknik partisipatif, dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pembelajaran partisipatif, tentu bukan sekedar teknik, melainkan statu pendekatan atau bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama yang bersifat sistem bank.
Metode pembelajaran atau dalam istilah Knowles, “format pembelajaran” diartikan sebagai patokan umum oleh karena itu bisa dikatakan bahwa metode pembelajaran partisipatif adalah suatu patokan umum pembelajaran partisipatif. Ahli lain seperti Vemer mengklasifikasikan metode pembelajaran ke dalam tiga kategori, yaitu : metode pembelajaran perorangan (Individual Methods), metode pembelajaran kelompok (Group Methods) dan metode pembelajaran pembangunan masyarakat (Community Methods).
Menurut paradigma behavioristik, belajar merupakan transmisi pengetahuan dari expert ke novice. Berdasarkan konsep ini, peran widyaiswara adalah menyediakan dan menuangkan informasi sebanyak-banyaknya kepada peserta. Widyaiswara mempersepsikan dirinya berhasil dalam pekerjaannnya apabila dapat menuangkan pengetahuan sebanyak-banyaknya ke kepala peserta pelatihan, dan peserta pelatihan dipersepsi berhasil apabila mereka tunduk dalam menerima pengetahuan yang dituangkan widyaiswara kepada mereka. Dapat dikatakan bahwa persepsi semacam itu bersifat indoktrinasi, sehingga akan berdampak pada penjinakan kognitif para peserta pelatihan, menghalangi perkembangan kreativitas mereka, dan memenggal peluang peserta untuk mencapai higher order thinking.
Akhir-akhir ini, konsep belajar didekati menurut paradigma konstruktivisme yang berpendapat, bahwa belajar merupakan hasil konstruksi peserta pelatihan itu sendiri sebagai hasil interaksinya terhadap lingkungan belajar. Pengkonstruksian pemahaman dalam even belajar dapat melalui proses asimilasi atau akomodasi, karena merupakan usaha peserta pelatihan untuk menyempurnakan atau merubah pengetahuan yang telah ada di benaknya (Heinich, et al., 2002).
Pengetahuan yang telah dimiliki sering pula diistilahkan sebagai prakonsepsi. Proses asimilasi terjadi apabila terdapat kesesuaian antara pengalaman baru dengan prakonsepsi yang dimiliki peserta pelatihan. Sedangkan proses akomodasi adalah suatu proses adaptasi, evolusi, atau perubahan yang terjadi sebagai akibat pengalaman baru yang tidak sesuai dengan prakonsepsinya.
Tinjauan filosofis, psikologi kognitif, psikologi sosial, dan teori sains sepakat menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan (Dole dan Sinatra, 1998); sehingga peserta pelatihan itu sendiri yang melakukan perubahan tentang pengetahuannya, sedangkan peran widyaiswara adalah sebagai fasilitator, mediator, dan pembimbing. Jadi widyaiswara hanya dapat membantu proses perubahan pengetahuan peserta pelatihan melalui perannya menyiapkan scaffolding dan guiding, sehingga dapat mencapai tingkatan pemahaman yang lebih sempurna dibandingkan dengan pengetahuan sebelumnya. Widyaiswara menyiapkan tangga yang efektif, tetapi mereka sendiri yang memanjat melalui tangga tersebut untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam.
Berdasarkan paradigma konstruktivisme tentang belajar tersebut, maka prinsip media pembelajaran menempati posisi cukup strategis dalam rangka mewujudkan kegiatan belajar secara optimal yang merupakan salah satu indikator untuk mewujudkan hasil belajar peserta pelatihan yang optimal pula; yang juga merupakan salah satu cerminan hasil pembelajaran yang berkualitas, yang memerlukan sumber daya widyaiswara yang mampu berperan secara profesional dalam lingkungan pelatihan maupun masyarakat.
Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dewasa ini, profesionalisme widyaiswara tidak cukup hanya dengan kemampuan membelajarkan peserta pelatihan, tetapi juga harus mampu mengelola informasi dan lingkungan untuk memfasilitasi kegiatan belajarnya. Dampak yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah diperkayanya sumber dan media pembelajaran, seperti buku teks, modul, overhead transparansi, film, video, televisi, slide, dan sebagainya.
Widyaiswara profesional dituntut mampu memilih dan menggunakan berbagai jenis media pembelajaran yang ada di sekitarnya. Konsep lingkungan meliputi tempat belajar, metode, media, sistem penilaian, serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengemas pembelajaran dan mengatur bimbingan belajar sehingga memudahkan peserta pelatihan.
Dalam pembelajaran partisipatif, widyaiswara lebih banyak berperan sebagai pembimbing dan pendorong bagi peserta pelatihan untuk melakukan kegiatan pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas peranannya dalam pembelajaran. Menurut Knowles dan Cronne, peranan widyaiswara mencakup menciptakan dan mengembangkan situasi kegiatan belajar partisipatif, menekankan peranan peserta pelatihan, dan dituntut agar
Pada awal pembelajaran, intensitas peran widyaiswara sangat tinggi yaitu untuk menyajikan berbagai informasi bahan belajar, memberikan motivasi serta memberikan bimbingan kepada peserta pelatihan dalam melakukan pembelajaran, tetapi perannya makin lama makin menurun karena digantikan oleh peran yang sangat tinggi dari peserta pelatihan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran secara maksimal.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran antara lain : (1) menciptakan suasana yang mendorong peserta pelatihan siap belajar; (2) membantu peserta pelatihan menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan; (3) membantu peserta pelatihan untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya; (4) membantu peserta pelatihan menyusun tujuan belajar; (5) membantu peserta pelatihan merancang pola-pola pengalaman belajar; (6) membantu peserta pelatihan melakukan kegiatan belajar; dan (7) membantu peserta pelatihan melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
Penutup
Media dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima, berarti merupakan salah satu komponen dalam proses komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan, dapat pula dikatakan bahwa proses pembelajaran merupakan proses komunikasi yang mengandung lima komponen komunikasi, yaitu : (1) widyaiswara sebagai komunikator; (2) bahan pembelajaran; (3) media pembelajaran; (4) peserta pelatihan sebagai komunikan, dan (5) tujuan pembelajaran.
Media Pembelajaran merupakan alat bantu bagi seorang widyaiswara dalam proses belajar mengajar pada suatu kegiatan pelatihan, sekaligus menjadi alat komunikasi dalam menyampaikan pesan/isi materi pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif, karena widyaiswara bukan satu-satunya sumber pembelajaran namun menjadi salah satu sumber penting sebagai pengelola proses belajar mengajar; sedangkan media sebagai bagian integral yang mampu mengatasi berbagai hambatan dalam proses komunikasi, menghindari adanya keterbatasan fisik dalam ruang, menggugah sifat pasif sasaran dan mampu menyamakan pengamatan sasaran.
Efektivitas media dapat diukur dari seberapa banyak terjadi interaksi diantara keduanya melalui media yang dipergunakan. Dalam menggunakan media dalam proses belajar mengajar haruslah memahami betul ciri-ciri (karakteristik) dari media yang digunakannya, tidak semua media dapat digunakan dalam suatu proses pembelajaran dan tidak ada suatu media pun yang dapat sepenuhnya menggantikan kedudukan dan peran seorang widyaiswara dalam proses belajar mengajar.
Media pembelajaran mempunyai kelebihan dalam hal meningkatkan kemampuan fiksatif, kemampuan manipulatif, dan kemampuan distributif. Penggunaan media pembelajaran, pada prinsipnya berpedoman kepada landasan antara lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan empiris.
Pembelajaran partisipatif, ádalah sebuah upaya widyaiswara untuk mengikut sertakan peserta pelatihan dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program, yang dilandasi oleh pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran.
Pembelajaran partisipatif memiliki maksud dasar untuk mengubah pola hubungan yang ada antara peserta pelatihan dengan widyaiswara, yang harus bersedia mengakui memerlukan belajar dari peserta pelatihan yang dihadapinya, dan demikian pula sebaliknya.
Salah satu proses penting yang layak dilalui adalah adanya pembaharuan model-model pembelajaran yang tidak hanya hendak mengoreksi cara mengajar, tetapi juga mengoreksi keseluruhan proses pembelajaran. Kesemuanya ini menuntut adanya kesediaan semua pihak untuk bersedia mengubah atau mentrasformasi pandangannya mengenai proses pembelajaran dalam pelatihan.
Referensi
Dole, J. A. & Sinatra, G. M. 1998. Reconceptualizing Change in the Cognitive Construction of Knowledge. Educational Psichologist : 33(2/3), 109-128.
Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., & Smaldino, S.E. 2002. Instructional Media and Technology for Learning, 7th edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey.
Ibrahim, H. 1997. Media Pembelajaran: Arti, Fungsi, Landasan Pengunaan, Klasifikasi, Pemilihan, Karakteristik OHT, Opaque, Filmstrip, Slide, Film, Video, TV, dan Penulisan Naskah Slide. Bahan Sajian Program Pendidikan Akta Mengajar III-IV. FIP-IKIP Malang.
----------. 1999. Pemanfaatan dan Pengembangan Media Slide Pembelajaran. Bahan Ajar. Disajikan dalam Pelatihan Produksi dan Penggunaan Media Pembelajaran Bagi Dosen MDU Universitas Negeri Malang, 8 Februari s.d 6 Maret 1999.
Knowles, M. 1975. Self Directed Learning. Follet Publishing Company. Chicago.
Sudjana, D. 1993. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Nusantara Press. Bandung.
Masalah yang sering ditemui di lembaga-lembaga penyelenggara diklat, mengapa sampai saat ini masih ada widyaiswara yang enggan menggunakan media dalam mengajar? Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan diskusi dalam berbagai kesempatan dengan para widyaiswara, terdapat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) alasan mereka tidak menggunakan media pembelajaran, yaitu :
Pertama, menggunakan media itu repot. Mengajar dengan menggunakan media perlu persiapan, widyaiswara merasa sudah sangat repot dengan menulis persiapan pembelajaran, jadwal yang padat, jumlah kelas paralel yang sedikit, masalah keluarga di rumah dan lain-lain, sehingga mana sempat memikirkan media pembelajaran. Padahal kalau mau berpikir dari aspek lain, bahwa dengan media pembelajaran akan lebih efektif, maka tidak ada alasan repot.
Kedua, media itu canggih dan mahal. Tidak selalu media itu harus canggih dan mahal. Nilai penting dari sebuah media pembelajaran bukan terletak pada kecanggihannya (apalagi harganya yang mahal) namun pada efektifitas dan efisiensi dalam membantu proses pembelajaran. Banyak media sederhana yang dapat dikembangkan oleh widyaiswara dengan harga murah.
Ketiga, tidak bisa menggunakan. Demam teknologi ternyata menyerang sebagian dari widyaiswara kita. Ada beberapa yang “takut” dengan peralatan elektronik, takut kena setrum, takut korsleting, takut salah pijit, takut rusak, dan sebagainya. Akibatnya media OHP, audio-visual atau slide projector yang telah dimiliki, sejak awal beli dalam kondisi baru tetap saja tersimpan rapi di ruang penyimpanan.
Keempat, media itu hiburan, sedangkan belajar itu serius. Alasan ini sudah jarang ditemui di lembaga-lembaga penyelenggara diklat, namun tetap ada. Menurut pendapat orang-orang terdahulu belajar itu harus dengan serius, sedangkan media pembelajaran itu identik dengan hiburan. Hiburan adalah hal yang berbeda dengan belajar. Paradigma belajar kini sudah berubah. Kalau bisa belajar dengan menyenangkan, mengapa harus dengan menderita? Kalau dapat dilakukan dengan mudah, mengapa harus dipersulit?
Kelima, tidak tersedia. Tidak tersedia media pembelajaran di lembaga penyelenggara diklat, mungkin ini adalah alasan yang masuk akal. Tetapi seorang widyaiswara tidak boleh menyerah begitu saja. Ia adalah seorang profesional yang harus kreatif, inovatif dan banyak inisiatif. Media pembelajaran tidak harus selalu canggih, namun dapat juga dikembangkan sendiri oleh widyaiswara. Dalam hal ini pimpinan lembaga penyelenggara diklat hendaklah cepat tanggap.
Keenam, kebiasaan menikmati ceramah/bicara. Metode mengajar dengan ceramah adalah hal yang enak dan mudah, karena berbicara itu memang nikmat. Inilah kebiasaan yang sulit di rubah. Seorang widyaiswara cenderung mengulang cara para pendahulunya yang terdahulu. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran adalah kepentingan peserta pelatihan yang sedang belajar, bukan kepuasan widyaiswara semata.
Ketujuh, kurangnya penghargaan dari atasan. Kurangnya penghargaan dari atasan, mungkin adalah alasan yang masuk akal. Sering terjadi bahwa widyaiswara yang mengajar dengan media pembelajaran yang dipersiapkan secara baik, kurang mendapatkan penghargaan dari pimpinan lembaga penyelenggara diklat. Tidak adanya reward bagi widyaiswara sering menyebabkan yang bersangkutan menjadi “malas”. Selama ini tidak ada perbedaan perlakuan bagi widyaiswara yang menggunakan media pembelajaran dengan widyaiswara yang mengajar dengan tidak menggunakan media (metode ceramah/bicara saja).
Peran Widyaiswara Dalam Proses Pembelajaran Partisipatif
Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya widyaiswara untuk mengikut sertakan peserta pelatihan dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.
Pembelajaran partisipatif, atau teknik partisipatif, dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pembelajaran partisipatif, tentu bukan sekedar teknik, melainkan statu pendekatan atau bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama yang bersifat sistem bank.
Metode pembelajaran atau dalam istilah Knowles, “format pembelajaran” diartikan sebagai patokan umum oleh karena itu bisa dikatakan bahwa metode pembelajaran partisipatif adalah suatu patokan umum pembelajaran partisipatif. Ahli lain seperti Vemer mengklasifikasikan metode pembelajaran ke dalam tiga kategori, yaitu : metode pembelajaran perorangan (Individual Methods), metode pembelajaran kelompok (Group Methods) dan metode pembelajaran pembangunan masyarakat (Community Methods).
Menurut paradigma behavioristik, belajar merupakan transmisi pengetahuan dari expert ke novice. Berdasarkan konsep ini, peran widyaiswara adalah menyediakan dan menuangkan informasi sebanyak-banyaknya kepada peserta. Widyaiswara mempersepsikan dirinya berhasil dalam pekerjaannnya apabila dapat menuangkan pengetahuan sebanyak-banyaknya ke kepala peserta pelatihan, dan peserta pelatihan dipersepsi berhasil apabila mereka tunduk dalam menerima pengetahuan yang dituangkan widyaiswara kepada mereka. Dapat dikatakan bahwa persepsi semacam itu bersifat indoktrinasi, sehingga akan berdampak pada penjinakan kognitif para peserta pelatihan, menghalangi perkembangan kreativitas mereka, dan memenggal peluang peserta untuk mencapai higher order thinking.
Akhir-akhir ini, konsep belajar didekati menurut paradigma konstruktivisme yang berpendapat, bahwa belajar merupakan hasil konstruksi peserta pelatihan itu sendiri sebagai hasil interaksinya terhadap lingkungan belajar. Pengkonstruksian pemahaman dalam even belajar dapat melalui proses asimilasi atau akomodasi, karena merupakan usaha peserta pelatihan untuk menyempurnakan atau merubah pengetahuan yang telah ada di benaknya (Heinich, et al., 2002).
Pengetahuan yang telah dimiliki sering pula diistilahkan sebagai prakonsepsi. Proses asimilasi terjadi apabila terdapat kesesuaian antara pengalaman baru dengan prakonsepsi yang dimiliki peserta pelatihan. Sedangkan proses akomodasi adalah suatu proses adaptasi, evolusi, atau perubahan yang terjadi sebagai akibat pengalaman baru yang tidak sesuai dengan prakonsepsinya.
Tinjauan filosofis, psikologi kognitif, psikologi sosial, dan teori sains sepakat menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan (Dole dan Sinatra, 1998); sehingga peserta pelatihan itu sendiri yang melakukan perubahan tentang pengetahuannya, sedangkan peran widyaiswara adalah sebagai fasilitator, mediator, dan pembimbing. Jadi widyaiswara hanya dapat membantu proses perubahan pengetahuan peserta pelatihan melalui perannya menyiapkan scaffolding dan guiding, sehingga dapat mencapai tingkatan pemahaman yang lebih sempurna dibandingkan dengan pengetahuan sebelumnya. Widyaiswara menyiapkan tangga yang efektif, tetapi mereka sendiri yang memanjat melalui tangga tersebut untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam.
Berdasarkan paradigma konstruktivisme tentang belajar tersebut, maka prinsip media pembelajaran menempati posisi cukup strategis dalam rangka mewujudkan kegiatan belajar secara optimal yang merupakan salah satu indikator untuk mewujudkan hasil belajar peserta pelatihan yang optimal pula; yang juga merupakan salah satu cerminan hasil pembelajaran yang berkualitas, yang memerlukan sumber daya widyaiswara yang mampu berperan secara profesional dalam lingkungan pelatihan maupun masyarakat.
Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dewasa ini, profesionalisme widyaiswara tidak cukup hanya dengan kemampuan membelajarkan peserta pelatihan, tetapi juga harus mampu mengelola informasi dan lingkungan untuk memfasilitasi kegiatan belajarnya. Dampak yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah diperkayanya sumber dan media pembelajaran, seperti buku teks, modul, overhead transparansi, film, video, televisi, slide, dan sebagainya.
Widyaiswara profesional dituntut mampu memilih dan menggunakan berbagai jenis media pembelajaran yang ada di sekitarnya. Konsep lingkungan meliputi tempat belajar, metode, media, sistem penilaian, serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengemas pembelajaran dan mengatur bimbingan belajar sehingga memudahkan peserta pelatihan.
Dalam pembelajaran partisipatif, widyaiswara lebih banyak berperan sebagai pembimbing dan pendorong bagi peserta pelatihan untuk melakukan kegiatan pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas peranannya dalam pembelajaran. Menurut Knowles dan Cronne, peranan widyaiswara mencakup menciptakan dan mengembangkan situasi kegiatan belajar partisipatif, menekankan peranan peserta pelatihan, dan dituntut agar
Pada awal pembelajaran, intensitas peran widyaiswara sangat tinggi yaitu untuk menyajikan berbagai informasi bahan belajar, memberikan motivasi serta memberikan bimbingan kepada peserta pelatihan dalam melakukan pembelajaran, tetapi perannya makin lama makin menurun karena digantikan oleh peran yang sangat tinggi dari peserta pelatihan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran secara maksimal.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran antara lain : (1) menciptakan suasana yang mendorong peserta pelatihan siap belajar; (2) membantu peserta pelatihan menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan; (3) membantu peserta pelatihan untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya; (4) membantu peserta pelatihan menyusun tujuan belajar; (5) membantu peserta pelatihan merancang pola-pola pengalaman belajar; (6) membantu peserta pelatihan melakukan kegiatan belajar; dan (7) membantu peserta pelatihan melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
Penutup
Media dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima, berarti merupakan salah satu komponen dalam proses komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan, dapat pula dikatakan bahwa proses pembelajaran merupakan proses komunikasi yang mengandung lima komponen komunikasi, yaitu : (1) widyaiswara sebagai komunikator; (2) bahan pembelajaran; (3) media pembelajaran; (4) peserta pelatihan sebagai komunikan, dan (5) tujuan pembelajaran.
Media Pembelajaran merupakan alat bantu bagi seorang widyaiswara dalam proses belajar mengajar pada suatu kegiatan pelatihan, sekaligus menjadi alat komunikasi dalam menyampaikan pesan/isi materi pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif, karena widyaiswara bukan satu-satunya sumber pembelajaran namun menjadi salah satu sumber penting sebagai pengelola proses belajar mengajar; sedangkan media sebagai bagian integral yang mampu mengatasi berbagai hambatan dalam proses komunikasi, menghindari adanya keterbatasan fisik dalam ruang, menggugah sifat pasif sasaran dan mampu menyamakan pengamatan sasaran.
Efektivitas media dapat diukur dari seberapa banyak terjadi interaksi diantara keduanya melalui media yang dipergunakan. Dalam menggunakan media dalam proses belajar mengajar haruslah memahami betul ciri-ciri (karakteristik) dari media yang digunakannya, tidak semua media dapat digunakan dalam suatu proses pembelajaran dan tidak ada suatu media pun yang dapat sepenuhnya menggantikan kedudukan dan peran seorang widyaiswara dalam proses belajar mengajar.
Media pembelajaran mempunyai kelebihan dalam hal meningkatkan kemampuan fiksatif, kemampuan manipulatif, dan kemampuan distributif. Penggunaan media pembelajaran, pada prinsipnya berpedoman kepada landasan antara lain landasan filosofis, psikologis, teknologis, dan empiris.
Pembelajaran partisipatif, ádalah sebuah upaya widyaiswara untuk mengikut sertakan peserta pelatihan dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program, yang dilandasi oleh pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran.
Pembelajaran partisipatif memiliki maksud dasar untuk mengubah pola hubungan yang ada antara peserta pelatihan dengan widyaiswara, yang harus bersedia mengakui memerlukan belajar dari peserta pelatihan yang dihadapinya, dan demikian pula sebaliknya.
Salah satu proses penting yang layak dilalui adalah adanya pembaharuan model-model pembelajaran yang tidak hanya hendak mengoreksi cara mengajar, tetapi juga mengoreksi keseluruhan proses pembelajaran. Kesemuanya ini menuntut adanya kesediaan semua pihak untuk bersedia mengubah atau mentrasformasi pandangannya mengenai proses pembelajaran dalam pelatihan.
Referensi
Dole, J. A. & Sinatra, G. M. 1998. Reconceptualizing Change in the Cognitive Construction of Knowledge. Educational Psichologist : 33(2/3), 109-128.
Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., & Smaldino, S.E. 2002. Instructional Media and Technology for Learning, 7th edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey.
Ibrahim, H. 1997. Media Pembelajaran: Arti, Fungsi, Landasan Pengunaan, Klasifikasi, Pemilihan, Karakteristik OHT, Opaque, Filmstrip, Slide, Film, Video, TV, dan Penulisan Naskah Slide. Bahan Sajian Program Pendidikan Akta Mengajar III-IV. FIP-IKIP Malang.
----------. 1999. Pemanfaatan dan Pengembangan Media Slide Pembelajaran. Bahan Ajar. Disajikan dalam Pelatihan Produksi dan Penggunaan Media Pembelajaran Bagi Dosen MDU Universitas Negeri Malang, 8 Februari s.d 6 Maret 1999.
Knowles, M. 1975. Self Directed Learning. Follet Publishing Company. Chicago.
Sudjana, D. 1993. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Nusantara Press. Bandung.
No comments:
Post a Comment