Saturday, February 2, 2013

Cooperative Learning Sebagai Model Pembelajaran Partisipatif

Oleh: Hamdan - Widyaiswara Madya



Pendahuluan
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar widyaiswara di Indonesia dalam proses pembelajaran peserta pelatihan adalah mengenai model pembelajaran yang digunakan. Berbagai model pembelajaran sudah banyak yang kita lakukan, bahkan termasuk model pembelajaran yang banyak dikenal sebagai Cooperative Learning (pembelajaran kooperatif) ini sendiri, namun masih jarang yang mempersoalkan penggunaannya dalam proses pembelajaran pada suatu paket pelatihan. Pertanyaan yang muncul berkenaan dengan model pembelajaran ini adalah: apa perlunya dilakukan dengan model pembelajaran ini, bagaimana prosesnya, dan tentu saja pertimbangan apa yang digunakan menyangkut kelebihan maupun kelemahan dari model pembelajaran Cooperatice Learning itu sendiri.

Seringkali kita menemukan suasana kelas yang “kurang bergairah”, “kurang hidup”, atau apapun sebutannya, yang pada intinya adalah motivasi belajar peserta pelatihan itu rendah, sehingga perlu “dibangkitkan”. Berawal dari proses dalam Dinamika Kelompok, ada ungkapan dari Peter Kline yang mengatakan bahwa “Learning is Most Effecive When It’s Fun”, pembelajaran itu akan terlaksana paling efektif manakala dilakukan dengan senang hati. Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat dalam, yakni bahwa tujuan pembelajaran itu akan tercapai jika peserta mengikuti dan melakukan proses pembelajarannya dengan senang hati, dengan motivasi yang tinggi.
Menghadapi situasi ini bukanlah hal yang mudah bagi widyaiswara/fasilitator, tetapi bukan pula hal yang tidak mungkin dilakukan, karena setiap widyaiswara/fasilitator sudah dibekali dengan pemahaman yang memadai untuk melakukannya, dalam rangka manajemen kelas maupun tindakan kelas karena widyaiswara/fasilitator membekali dirinya dengan skenario pembelajaran yang telah disusun sebelumnya.
Difahami betul bahwa sebagian peserta selama ini menganggap bahwa kegiatan pelatihan sebagai kegiatan yang membosankan, dan mereka kurang termotivasi, padahal widyaiswara/fasilitator dapat mengubahnya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan mengasyikkan. Dalam hal ini, kegiatan pembelajaran sebaiknya dilakukan dengan mengkaitkan antara pengembangan diri dengan proses pembelajaran di kelas melalui pengalaman-pengalaman belajar yang inovatif, menantang dan menyenangkan.
Salah satu model pembelajaran yang dapat mengakomodasi kepentingan untuk mengkolaborasikan pengembangan diri didalam proses pembelajaran adalah model Cooperative Learning. Ide penting dalam model pembelajaran ini adalah membelajarkan kepada peserta pelatihan suatu bentuk keterampilan dalam bekerjasama dan berkolaborasi. Keterampilan ini sangat penting bagi peserta, karena pada dunia kerja sebagian besar kegiatan dilakukan secara kelompok.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran, yaitu peserta belajar dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen sehingga dalam setiap kelompok terdapat peserta yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. Dalam menyelesaikan tugas, anggota kelompok dapat saling bekerjasama dan membantu untuk memahami materi pembelajaran. Belajar belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok itu belum menguasai materi pembelajaran.
Pemilihan model pembelajaran yang tepat dalam proses pembelajaran akan mengaktifkan peserta serta menyadarkannya bahwa pelatihan tidak selalu membosankan. Widyaiswara hanya sebagai fasilitator untuk membentuk dan mengembangkan potensi pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki peserta itu sendiri, bukan untuk memindahkan pengetahuan yang dimilikinya. Melalui pembelajaran kooperatif peserta diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan motivasi dalam proses pembelajaran pada kegiatan pelatihan.

Cooperative Learning

Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang dilakukan secara terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok. Falsafah yang mendasarinya dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Cooperative Learning merupakan strategi pembelajaran yang menitikberatkan pada pengelompokan peserta dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda ke dalam kelompok-kelompok kecil terdiri dari 4 - 5 orang peserta (Saptono, 2003),  dan lebih dari sekedar belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok. Kepada peserta diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan kepada teman sekelompoknya, menghargai pendapat teman, berdiskusi dengan teratur, peserta yang pandai membantu yang lebih lemah, dan sebagainya.
Hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat dilakukan peserta untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok.
Menurut Anita Lie (2004) dalam bukunya “Cooperative Learning”, Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan dari teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional.
Agar terlaksana dengan baik, strategi ini dilengkapi dengan lembar penugasan yang berisi tugas atau pertanyaan yang harus dikerjakan. Selama bekerja dalam kelompok, setiap anggota kelompok berkesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan memberikan respon terhadap pendapat temannya. Setelah menyelesaikan tugas kelompok, masing-masing menyajikan hasil pekerjaannya didepan kelas untuk didiskusikan dengan seluruh peserta.
Cooperative Learning dalam pelatihan merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara peserta untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri: (1) untuk menuntaskan materi belajarnya, karena peserta belajar dalam kelompok secara bekerja sama; (2) kelompok dibentuk dari peserta yang memiliki kemampuan kognitif maupun latar belakang beragam; dan (3) penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan.
Adapun tujuan dilakukannya model Cooperative Learning mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
  1. Hasil belajar akademik, yaitu untuk meningkatkan kinerja peserta dalam menyelesaikan tugas-tugas pada fungsi kognitifnya. Pembelajaran model ini dianggap unggul dalam membantu peserta dalam memahami konsep-konsep yang dinilai sulit. 
  2. Penerimaan terhadap keragaman, yaitu agar peserta menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam latar belakang.
  3. Pengembangan keterampilan sosial, yaitu untuk mengembangkan keterampilan sosial peserta, diantaranya: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau mengungkapkan ide, dan bekerja dalam kelompok.
Proses pembelajaran dengan Cooperative Learning dapat meningkatkan daya nalar dan daya pikir peserta serta dapat mengurangi kegiatan menghafal. Peserta dapat merasakan bahwa berpikir lebih baik dari pada menghafal sehingga mereka akan lebih termotivasi dalam kegiatan pembelajaran. Coopertive Learning yang meningkatkan hubungan kerjasama antar teman memacu peserta untuk semakin maju dan bekerja keras sehingga hasilnya akan dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan seseorang yang mau dan mampu bekerja keras serta dapat bekerja sama.
Tahapan pelaksanaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Fase I: Penyampaian tujuan dan motivasi kepada peserta
Kegiatan Fasilitator: Menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada materi pelatihan itu, sekaligus memotivasi peserta
Fase II: Penyajian informasi
Kegiatan Fasilitator: Menyampaikan informasi kepada peserta dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase III: Pengorganisasian peserta ke dalam kelompok-kelompok belajar
Kegiatan Fasilitator: Menjelaskan kepada peserta bagaimana membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase IV: Pembimbingan kepada kelompok dalam bekerja dan belajar
Kegiaan Fasilitator: Membimbing kelompok- kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas yang diberikan
Fase V: Pengevaluasian kegiatan belajar
Kegiatan Fasilitator: Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase VI: Pemberian penghargaan
Kegiatan Fasilitator: Mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dalam masing-masing kelompok
Kelebihan yang dapat diperoleh dengan penerapan Cooperative Learning antara lain sebagai berikut :
  1. Meningkatkan harga diri tiap individu
  2. Penerimaan terhadap perbedaan individu yang lebih besar, sehingga konflik antar pribadi berkurang
  3. Sikap apatis berkurang
  4. Pemahaman yang lebih mendalam, dan retensi atau penyimpanan lebih lama
  5. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi.
  6. Cooperative Learning dapat mencegah keagresifan dalam sistem kompetisi dan keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan aspek kognitif.
  7. Meningkatkan kemajuan belajar (pencapaian akademik)
  8. Meningkatkan kehadiran peserta dan sikap yang lebih positif\
  9. Menambah motivasi dan percaya diri
  10. Menambah rasa senang berada di tempat belajar serta menyenangi teman-teman sekelasnya
  11. Mudah diterapkan dan tidak mahal
Disamping kelebihan/keunggulan model pembelajaran ini, terdapat pula kekurangan/kelemahan yang dapat timbul dengan penerapan Cooperative Learning, antara lain sebagai berikut :
  1. Widyaiswara/fasilitator khawatir bahwa akan terjadi kekacauan di kelas.Banyak peserta tidak senang apabila disuruh bekerja sama dengan yang lain.
  2. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan kelompok.
  3. Banyak peserta takut bahwa pekerjaan tidak akan terbagi rata atau secara adil, bahwa satu orang harus mengerjakan seluruh pekerjaan tersebut.
Namun demikian, ditilik dari kelebihan maupun kekurangannya, Cooperative Learning merupakan model pembelajaran yang dapat memotivasi belajar peserta dimana kekurangan yang mungkin terjadi dapat diminimalisirkan.

Motivasi Belajar

Salah satu aspek psikologis yang ada pada diri seseorang adalah motivasi. Menurut Egsenck (Slameto, 2003) motivasi merupakan suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan, intensitas, konsisten, serta arah umum dari tingkah laku manusia. Seseorang termotivasi atau terdorong untuk melakukan sesuatu karena adanya tujuan atau kebutuhan yang hendak dicapai.
Tujuan atau kebutuhan tersebut akan mengarahkan perilaku seseorang. Begitu pula perilaku seseorang dalam kegiatan belajar mengajar juga memerlukan motivasi untuk belajar. Menurut Sardiman (1987), motivasi belajar ada 2 yaitu :
  1. Motivasi Intrinsik; yaitu motivasi yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu ada perangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, tingkah laku yang dilakukan seseorang disebabkan oleh kemauan sendiri bukan dorongan dari luar. 
  2. Motivasi Ekstrinsik; merupakan motif yang aktif dan berfungsi karena adanya dorongan atau rangsangan dari luar. Tujuan yang diinginkan dari tingkah laku yang digerakkan oleh motivasi ekstrinsik terletak diluar tingkah laku tersebut.
Penguatan motivasi-motivasi belajar tersebut berada ditangan para fasilitator pendidik dan anggota masyarakat yang lain. Fasilitator sebagai pendidik bertugas memperkuat motivasi belajar selama minimum 9 tahun pada usia wajib belajar. Orang tua bertugas memperkuat motivasi belajar sepanjang hayat. Ulama sebagai pendidik juga bertugas memperkuat motivasi belajar sepanjang hayat.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (1994), unsur-unsur yang mempengaruhi motivasi belajar adalah: (1) Cita-cita atau aspirasi peserta;  (2) Kemampuan peserta;  (3) Kondisi peserta; (4) Kondisi lingkungan peserta; (5) Unsur-unsur dinamis dalam belajar dan pembelajaran; dan (6) Upaya widyaiswara/fasilitator dalam membelajarkan peserta.
Selanjutnya disebutkan pula bahwa upaya untuk meningkatkan motivasi belajar yaitu meliputi:
  1. Optimalisasi penerapan prinsip belajar, yang antara lain sebagai berikut: (a) belajar menjadi bermakna jika peserta memahami tujuan belajar, oleh karena itu fasilitator harus menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis; (b) belajar menjadi bermakna bila peserta dihadapkan pada pemecahan masalah yang menantangnya, oleh karena itu peletakan urutan masalah yang menantang harus disusun oleh fasilitator dengan baik; (c) belajar menjadi bermakna bila fasilitator mampu memusatkan segala kemampuan mental peserta dalam program kegiatan tertentu sehingga fasilitator sebaiknya membuat pembelajaran dalam pengajaran unit atau proyek; (d) kebutuhan bahan belajar peserta semakin bertambah, oleh karena itu fasilitator perlu mengatur bahan dari yang paling sederhana sampai paling menantang; dan (e) belajar menjadi menantang bila peserta memahami prinsip penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan dikemudian hari, sehingga fasilitator perlu memberitahukan kriteria keberhasilan atau kegagalan dalam belajar.
  2. Optimalisasi unsur dinamis belajar dan pembelajaran, dengan jalan : (a) memberikan kesempatan pada peserta untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya; (b) memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar; (c) meminta kesempatan pada peserta untuk beraktualisasi diri dalam belajar; (d) memanfaatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar; (e) menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar; dan (f) fasilitator merangsang peserta dengan penguatan memberi rasa percaya diri.
  3. Optimalisasi pemanfaatan pengalaman dan kemampuan peserta yang dapat dilakukan sebagai berikut : (a) peserta ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya dan bertanya kepada fasilitator apa yang mereka tidak mengerti; (b) fasilitator mempelajari hal-hal yang sukar bagi peserta; (c) fasilitator memecahkan hal-hal yang sukar; (d) fasilitator mengajarkan cara memecahkan kesukaran tersebut dan mendidik kebenaran mengatasi kesukaran; (e) fasilitator mengajak peserta mengalami dan mengatasi kesukaran; (f) fasilitator memberi kesempatan peserta untuk menjadi tutor sebaya; (g) fasilitator memberi penguatan kepada peserta yang berhasil dalam mengatasi kesukaran belajarnya sendiri; dan (g) fasilitator menghargai pengalaman dan kemampuan peserta agar belajar secara mandiri.
  4. Pengembangan cita-cita dan aspirasi belajar, yang ditempuh dengan jalan membuat kegiatan belajar sesuatu.

Penutup
 
Motivasi merupakan faktor yang ada pada diri individu, merupakan haktor penting untuk mendorong peserta meningkatkan keberhasilan belajar dan kecakapan menghadapi tantangan hidup. Kadar motivasi belajar peserta tidak stabil, kadang tinggi, kadang rendah, bahkan suatu ketika motivasi tersebut hilang dari diri peserta. Oleh karena itu, perlu diterapkan model Cooperative Learning pada pembelajaran dalam pelatihan guna mengupayakan peningkatan kualitas pelatihan.
Pelaksanaan Cooperative Learning dalam proses berlatih dapat menggunakan berbagai model serta efektif jika digunakan dalam suatu periode waktu tertentu.
Susana positif yang timbul dari Cooperative Learning memberikan kesempatan kepada peserta untuk mencintai suasana dan lingkungan pembelajaran, sehingga dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan peserta merasa lebih termotivasi untuk belajar dan berpikir, namun tidak menutup kemungkinan kericuhan di dalam kelas akan terjadi.

No comments:

Post a Comment