Oleh: Ahmad Suryanto - Widyaiswara Pertama
Pendahuluan
“Indonesia Kekurangan Pengusaha”, demikian judul berita di Tempo on line edisi 9 Juli 2012, cukup membuat saya tertegun. Mengutip pernyataan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Gusti Muhammad Hatta: “Jumlah pengusaha di Indonesia saat ini masih jauh dari angka ideal”. Untuk memajukan perekonomian, lanjut Menristek, idealnya sebuah negara memiliki pengusaha yang jumlahnya tak kurang dari 2 persen total warga. Sementara Indonesia baru 0,18 persen.
Masih menurut Menristek, dari total 237 juta penduduk, idealnya Indonesia memiliki 4,4 juta pengusaha. Tapi nyatanya jumlah pengusaha di Indonesia baru sekitar 400 ribu. Kondisi ini berbeda dengan negara lain, misalnya Amerika Serikat. Berdasarkan data yang ada, pada 2007, 11,5 persen warga di AS adalah pengusaha. Negara seperti Singapura juga punya banyak pengusaha. Pada 2005, kata Hatta, 7 persen warga di Singapura adalah pengusaha.
Hatta mengatakan saat ini porsi seluruh populasi di Indonesia tengah didominasi pemuda berusia produktif. Hal seperti ini, kata dia, jarang terjadi. “Barangkali seratus tahun sekali,” kata dia. Saat ini, lanjut Hatta, ada 120 juta warga yang berada dalam usia produktif. Hal ini membuka kesempatan besar bagi Indonesia untuk meningkatkan jumlah pengusaha di dalam negeri.
Peluang Entrepeneur di Bidang Pertanian
Berdasarkan fakta dan data yang terpaparkan di atas, sangatlah relevan kiranya jika UPT-UPT Balai Pelatihan Pertanian di lingkup Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, saat ini gencar melaksanakan kegiatan inkubator agribisnis. Melalui inkubator agribisnis, Balai Pelatihan Pertanian diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam mengembangkan kewirausahaan masyarakat pertanian, khususnya pelaku usaha, di wilayah kerjanya dalam mengelola agribisnis.
Agrobisnis adalah salah satu bidang usaha yang cukup menjanjikan. Hanya saja karena proses pencitraan yang kurang positif selama ini, kalangan generasi muda terkesan masih inferior jika harus terjun ke dunia pertanian ini. Oleh kerena itu, dengan keberadaan inkubator agribisnis citra negative tentang usaha pertanian perlahan akan bisa dikikis.
Ada beberapa alasan mengapa usaha di bidang pertanian (agrobisnis) ke depan akan jauh lebih prospek.
Pertama, masalah pertanian, terlebih terkait pangan, adalah hajat hidup semua orang.Jadi, potensi pasarnya sangat luas. Khusus di negara kita, kabar baiknya: saat ini di Republik ini, berdasarkan studi Bank Dunia, di tahun 2010 saja sudah terdapat 130 juta orang berpengeluaran Rp 20.000 sampai dengan Rp. 200.000 per hari atau sekitar 56,5 persen jumlah penduduk Indonesia (Majalah Tempo edisi 26 Februari 2012).
Mereka ini yang biasa disebut sebagai Kelas Menengah. Atau Homi Kharas, ekonom dari Brooking Institution, mengistilahkan sebagai Kelas Konsumen Baru. Fakta inilah yang menjelaskan mengapa tiket konser yang mendatangkan idola dari luar negeri selalu ludes habis meski harganya cukup malah. Ini pula yang menjelaskan mengapa café-café yang berjamur di berbagai penjuru kota selalu terlihat penuh tempat duduknya. Ini pula yang menjelaskan mengapa penjualan gaget dan pernak-perniknya, mobil, sepeda motor, rumah, dan lain-lain, di negeri ini laris manis seperti berjualan kacang goreng.
Jumlah kelas konsumen baru kita sangat besar. Gaya hidup mereka khas: memiliki espektasi yang tinggi atas gaya hidup dan kesehatan. Dalam hal pangan, mereka memiliki tuntutan tinggi terhadap produk pangan yang sehat dan beragam. Nah, disinilah peluang itu. Entrepreneur di bidang pertanian yang mampu menghasilkan produk pangan yang sehat dan menarik dipastikan akan eksis usahanya. Untuk produk segar maupun olahan berkualitas, konsumennya sudah jelas di depan mata. Tinggal bagaimana kemasan pemasarannya saja yang perlu kreatif dan semenarik mungkin.
Kedua, mengapa bisnis di bidang pertanian itu prospek adalah terkait dengan bahan baku yang cukup variatif dan jumlahnya melimpah. Dari jenis sayuran segar saja begitu banyak varian produknya. Hanya saja, sejauh pengamatan penulis, selama ini pola pemasarannya masih konvensional: tumpah ruah begitu saja di pasar tradisonal, tidak ber-branding, dan tidak dikemas dengan menarik. Oleh karena itu, nilai tambahnya juga rendah. Jika entrepreneur pertanian kita bisa mengubahnya, ini menjadi peluang yang sangat menarik. Belum lagi jenis buah-buahan, umbi-umbian, dan produk ternak, perkebunan dan lain sebaginya. Jumlah komoditas yang bisa dipilih jumlahnya sangat banyak.
Ketiga, mengapa bisnis di bidang pertanian itu prospek adalah terkait dengan tenaga kerja yang tersedia dan bisa dilibatkan jumlahnya juga melimpah. Petani yang jumlahnya banyak itu jika produksinya disa di-drive sesuai permintaan pasar tentu akan sangat membantu mereka. Entrepeneur pertanianlah yang bisa mengelola ini. Apakah produksi petani ini akan dipasarkan dalam bentuk segar ataupun akan diolah lagi, petani kita sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dibina. Tinggal, apakah ada yang tertantang mengelola peluang ini atau tidak.
Optimalisasi Peran Inkubator Agibisnis
Peluang besar bisnis di bidang pertanian di atas merupakan peluang sekaligus tantangan tersendiri untuk bisa melahirkan wirausahawan baru. Inkubator agrobisnis di UPT Balai Pelatihan Pertanian bisa menjadi jembatan untuk itu. Catatan terpentingnya adalah: inkubator agribisnis harus benar-benar bisa menjadi contoh dan media belajar yang efektif bagi calon wirausahawan. Untuk itu inkubator agribisnis harus memiliki fokus yang jelas apa produk yang dihasilkan dan dipasarkan.
Di sisi lain, pengelolaan inkubator agribisnis harus benar-benar ditangani secara professional. Untuk itu, baik kiranya pihak pengelola inkubator agribisnis bisa menggandeng pengusaha pertanian yang telah terlebih dahulu sukses, untuk membuka [I]display [/I]produk dan menjadikan mereka konsultan untuk membimbing calon wirausahwan baru yang belajar di incubator agribisnis.
Tak kalah penting, fasilitas di inkubator agribisnis juga harus tersedia secara memadai. Fasilitas untuk budidaya maupun untuk penanganan pasca panen, pengolahan, pengemasan, hingga pemasaran. Jika sudah demikian tinggal bagaimana membuat rencana strategis agar permagangan bisa berjalan dengan baik. Paling tidak perencanaan tersebut untuk jangka waktu satu tahun. Dalam perencanaan tersebut harus jelas ternyatakan apa produk yang akan di-drive, berapa calon tenant (peserta/calon wirausahawan) yang akan “di-inkubasi”, hingga bagaimana menciptakan suasana “inkubasi” yang nyaman bagi peserta agar mereka benar-benar bisa mengalami pengalaman nyata dalam ber-agribisnis.
Dengan keseriusan jajaran pemimpin struktural dan Pajabat Fungsional Widyaiswara di UPT Balai Pelatihan Pertanian dalam menghidupkan incubator agribisnis ini, harapan akan lahirnya wirausahawan baru di bidang pertanian akan semakin nyata. Semoga….**
Masih menurut Menristek, dari total 237 juta penduduk, idealnya Indonesia memiliki 4,4 juta pengusaha. Tapi nyatanya jumlah pengusaha di Indonesia baru sekitar 400 ribu. Kondisi ini berbeda dengan negara lain, misalnya Amerika Serikat. Berdasarkan data yang ada, pada 2007, 11,5 persen warga di AS adalah pengusaha. Negara seperti Singapura juga punya banyak pengusaha. Pada 2005, kata Hatta, 7 persen warga di Singapura adalah pengusaha.
Hatta mengatakan saat ini porsi seluruh populasi di Indonesia tengah didominasi pemuda berusia produktif. Hal seperti ini, kata dia, jarang terjadi. “Barangkali seratus tahun sekali,” kata dia. Saat ini, lanjut Hatta, ada 120 juta warga yang berada dalam usia produktif. Hal ini membuka kesempatan besar bagi Indonesia untuk meningkatkan jumlah pengusaha di dalam negeri.
Peluang Entrepeneur di Bidang Pertanian
Berdasarkan fakta dan data yang terpaparkan di atas, sangatlah relevan kiranya jika UPT-UPT Balai Pelatihan Pertanian di lingkup Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, saat ini gencar melaksanakan kegiatan inkubator agribisnis. Melalui inkubator agribisnis, Balai Pelatihan Pertanian diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam mengembangkan kewirausahaan masyarakat pertanian, khususnya pelaku usaha, di wilayah kerjanya dalam mengelola agribisnis.
Agrobisnis adalah salah satu bidang usaha yang cukup menjanjikan. Hanya saja karena proses pencitraan yang kurang positif selama ini, kalangan generasi muda terkesan masih inferior jika harus terjun ke dunia pertanian ini. Oleh kerena itu, dengan keberadaan inkubator agribisnis citra negative tentang usaha pertanian perlahan akan bisa dikikis.
Ada beberapa alasan mengapa usaha di bidang pertanian (agrobisnis) ke depan akan jauh lebih prospek.
Pertama, masalah pertanian, terlebih terkait pangan, adalah hajat hidup semua orang.Jadi, potensi pasarnya sangat luas. Khusus di negara kita, kabar baiknya: saat ini di Republik ini, berdasarkan studi Bank Dunia, di tahun 2010 saja sudah terdapat 130 juta orang berpengeluaran Rp 20.000 sampai dengan Rp. 200.000 per hari atau sekitar 56,5 persen jumlah penduduk Indonesia (Majalah Tempo edisi 26 Februari 2012).
Mereka ini yang biasa disebut sebagai Kelas Menengah. Atau Homi Kharas, ekonom dari Brooking Institution, mengistilahkan sebagai Kelas Konsumen Baru. Fakta inilah yang menjelaskan mengapa tiket konser yang mendatangkan idola dari luar negeri selalu ludes habis meski harganya cukup malah. Ini pula yang menjelaskan mengapa café-café yang berjamur di berbagai penjuru kota selalu terlihat penuh tempat duduknya. Ini pula yang menjelaskan mengapa penjualan gaget dan pernak-perniknya, mobil, sepeda motor, rumah, dan lain-lain, di negeri ini laris manis seperti berjualan kacang goreng.
Jumlah kelas konsumen baru kita sangat besar. Gaya hidup mereka khas: memiliki espektasi yang tinggi atas gaya hidup dan kesehatan. Dalam hal pangan, mereka memiliki tuntutan tinggi terhadap produk pangan yang sehat dan beragam. Nah, disinilah peluang itu. Entrepreneur di bidang pertanian yang mampu menghasilkan produk pangan yang sehat dan menarik dipastikan akan eksis usahanya. Untuk produk segar maupun olahan berkualitas, konsumennya sudah jelas di depan mata. Tinggal bagaimana kemasan pemasarannya saja yang perlu kreatif dan semenarik mungkin.
Kedua, mengapa bisnis di bidang pertanian itu prospek adalah terkait dengan bahan baku yang cukup variatif dan jumlahnya melimpah. Dari jenis sayuran segar saja begitu banyak varian produknya. Hanya saja, sejauh pengamatan penulis, selama ini pola pemasarannya masih konvensional: tumpah ruah begitu saja di pasar tradisonal, tidak ber-branding, dan tidak dikemas dengan menarik. Oleh karena itu, nilai tambahnya juga rendah. Jika entrepreneur pertanian kita bisa mengubahnya, ini menjadi peluang yang sangat menarik. Belum lagi jenis buah-buahan, umbi-umbian, dan produk ternak, perkebunan dan lain sebaginya. Jumlah komoditas yang bisa dipilih jumlahnya sangat banyak.
Ketiga, mengapa bisnis di bidang pertanian itu prospek adalah terkait dengan tenaga kerja yang tersedia dan bisa dilibatkan jumlahnya juga melimpah. Petani yang jumlahnya banyak itu jika produksinya disa di-drive sesuai permintaan pasar tentu akan sangat membantu mereka. Entrepeneur pertanianlah yang bisa mengelola ini. Apakah produksi petani ini akan dipasarkan dalam bentuk segar ataupun akan diolah lagi, petani kita sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dibina. Tinggal, apakah ada yang tertantang mengelola peluang ini atau tidak.
Optimalisasi Peran Inkubator Agibisnis
Peluang besar bisnis di bidang pertanian di atas merupakan peluang sekaligus tantangan tersendiri untuk bisa melahirkan wirausahawan baru. Inkubator agrobisnis di UPT Balai Pelatihan Pertanian bisa menjadi jembatan untuk itu. Catatan terpentingnya adalah: inkubator agribisnis harus benar-benar bisa menjadi contoh dan media belajar yang efektif bagi calon wirausahawan. Untuk itu inkubator agribisnis harus memiliki fokus yang jelas apa produk yang dihasilkan dan dipasarkan.
Di sisi lain, pengelolaan inkubator agribisnis harus benar-benar ditangani secara professional. Untuk itu, baik kiranya pihak pengelola inkubator agribisnis bisa menggandeng pengusaha pertanian yang telah terlebih dahulu sukses, untuk membuka [I]display [/I]produk dan menjadikan mereka konsultan untuk membimbing calon wirausahwan baru yang belajar di incubator agribisnis.
Tak kalah penting, fasilitas di inkubator agribisnis juga harus tersedia secara memadai. Fasilitas untuk budidaya maupun untuk penanganan pasca panen, pengolahan, pengemasan, hingga pemasaran. Jika sudah demikian tinggal bagaimana membuat rencana strategis agar permagangan bisa berjalan dengan baik. Paling tidak perencanaan tersebut untuk jangka waktu satu tahun. Dalam perencanaan tersebut harus jelas ternyatakan apa produk yang akan di-drive, berapa calon tenant (peserta/calon wirausahawan) yang akan “di-inkubasi”, hingga bagaimana menciptakan suasana “inkubasi” yang nyaman bagi peserta agar mereka benar-benar bisa mengalami pengalaman nyata dalam ber-agribisnis.
Dengan keseriusan jajaran pemimpin struktural dan Pajabat Fungsional Widyaiswara di UPT Balai Pelatihan Pertanian dalam menghidupkan incubator agribisnis ini, harapan akan lahirnya wirausahawan baru di bidang pertanian akan semakin nyata. Semoga….**
No comments:
Post a Comment